Lokasi Penulis

Bukittinggi-Sumbar-Indonesia
Pin BB :
HP :

Tuesday, June 23, 2015

[Sirah] UMMI SANG MUJAHID 《BAB 3》(KISAH MENAKJUBKAN DI MASA TABI'IN)

"Kawan, kau masih terlalu muda. Kau tak tahu betapa liciknya pertempuran.Kembalilah ke belakang," teriakku mencoba menyaingi suara riuh pertempuran, sambil menarik tali kekang kudanya.
"Paman, tidakkah kau membaca ayat {{ wahai segenap kaum mukmin, jika kalian telah bercampuh dengan kaum kuffar, maka janganlah kalian mundur ke belakang }} [Al Anfal:15]. Sudikah engkau aku masuk neraka ?" serunya menimpali. Saat kucoba memahamkannya, serbuan kavelari kuffar memisahkan kami. Aku berusaha mengejarnya, namun sia-sia. Peperangan semakin bergejolak.
Dalam kancah pertempuran, terdengarlah derap kaki kuda diiringi gemerincing pedang dan hujan panah.Lalu mulailah kepala berjatuhan satu persatu. Bau anyir darah tercium dimana-mana. Tangan dan kaki bergelimpangan.Dan tubuh tak bernyawa tergeletak bersimbah darah. Demi Allah, perang itu telah menyibukkan tiap orang akan dirinya sendiri dan melalaikan orang lain. Sabetan dan kilatan pedang di atas kepala yang tak henti-hentinya,menjadikan suhu memuncak. Kedua pasukan bertempur habis-habisan.
Saat perang usai, aku segera mencari si pemuda. Terus mencari di medan laga. Aku khawatir dia termasuk yang terbunuh. Aku berkeliling mengendarai kuda di sekitar kumpulan korban. Mayat demi mayat, sungguh wajah mereka tak dapat dikenali, saking banyaknya darah bersimbah dan debu menutupi.
Dimana sang pemuda ? Aku terus melanjutkan pencarian. Dan tiba-tiba aku mendengar suara lirih, ”Kaum muslimin, panggilkan pamanku Abu Qudamah kemari!”
Itu suaranya, teriakku dalam kalbu. Kucari sumber suara, ternyata benar, si pemuda. Berada di tengah-tengah kuda bergelimpangan.Wajahnya bersimbah darah dan tertutup debu. Hampir aku tak mengenalnya.
Aku segera mendatanginya. "Aku di sini! Aku di sini! Aku Abu Qudamah!" isakku tak kuasa menahan tangis. Aku sisingkan sebagian kainku dan mengusap darah yang menutupi wajah polosnya."Paman, demi Rabb ka'bah, aku telah meraih mimpiku. Akulah putra ibu pemilik rambut kepang itu. Aku telah berbakti padanya, ku kecup keningnya dan ku hapus debu dan darah yang terkadang mengalir di wajahnya," kenangnya. Sungguh aku benar-benar tak kuasa dengan kejadian ini.
"Kawan, janganlah kau lupakan pamanmu ini. Berilah dia syafa'at nanti di hari kiamat."
"Orang sepertimu tak kan pernah kulupakan.""Jangan!" serunya lagi saat kucoba mengusap wajahnya. "Jangan kau usap wajahku dengan kainmu. Kainku lebih berhak untuk itu. Biarkanlah darah ini mengalir hingga aku menemui Rabb-ku, paman.
Paman, lihatlah, bidadari yang pernah kuceritakan padamu ada di dekatku. Dia menunggu ruhku keluar. Dengarkanlah kata-katanya; sayang, bersegeralah. Aku rindu.Paman, demi Allah, tolong bawalah bajuku yang berlumuran darah ini untuk Ummi. Serahkanlah padanya, agar beliau tahu aku tak pernah menyia-nyiakan petuahnya. Juga agarbeliau tahu aku bukanlah pengecut melawan kaum kafir yang busuk itu. Sampaikanlah salam dariku dan katakan hadiahmu telah diterima Allah.Paman, saat berkunjung ke rumah nanti, kau akan bertemu adik perempuanku. Usianya sekitar sepuluh tahun. Jika aku datang, ia sangat gembira menyambutku. Dan jika aku pergi, ia paling tidak mau kutinggalkan.
Saat ku meninggalkannya kali ini, ia mengharapkanku cepat kembali. "Kak, cepat pulang, ya." Itulah kata-katanya yang masih terngiang di telingaku. Jika engkau bertemu dengannya, sampaikan salamku padanya dan katakan; Allah-lah yang akan menggantikan kakak sampai hari kiamat, " kata-katanya terus membuat air mataku meleleh. Menetes dan terus menetes membuat aliran sungai di pipi."Asyhadu alla ilaaha illalloh, wahdahu laa syarikalah, sungguh benar janji-Nya. Wa asyhadu anna muhammadarrosululloh. Inilah apa yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya dan nyatalah apa yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya," itulah kata-kata terakhirnya sebelum ruh berlepas dari jasadnya. Lalu aku mengkafaninya dan menguburkannya.Aku harus segera ke Recca, tekadku. Aku segera pergi ke Recca. Tak lain dan tak bukan tujuanku hanyalah ibu si pemuda.
Celakanya aku, aku belum mengetahui nama si pemuda dan dimana rumahnya. Aku berkelililing ke seluruh kota Recca. Setiap sudut, gang ....
Bersambung....

Saturday, June 20, 2015

[Sirah] UMMI SANG MUJAHID 《BAB 2》(KISAH MENAKJUBKAN DI MASA TABI'IN)

Mintalah restu darinya terlebih dahulu. Jika merestui,ayo. Jika tidak, layanilah belaiu. Sungguh baktimu lebih utama dibandingkan jihat. Memang, jannah di bawah bayangan pedang, namun juga di bawah telapak kaki ibu." Duhai abu kudamah tidak kah engkau mengenaliku."."tidak." "Aku putra pemilik titipan itu. Betapa cepatnya engkau melupakan titipan ummi, pemilik kepangan rambut itu". " aku, insyaAllah, adalah seorang syahid putra seorang syahid. Aku memohon kepadamu dengan nama Allah, jangan kau halangi aku ikut berjihat fisabilillah bersamamu. Aku telah mrnyelesaikan alquran. Aku juga telah mempelajari sunnah Rasul. Aku pun lihai menunggang kuda dan memanah. Tak ada seorangpun lebih berani dariku. Maka, janganlah kau remehkan aku hanya karena aku masih belia." Ummi telah bersumpah agar aku tidak kembali. Beliau berpesan: nak, jika kau telah meliat musuh, jangan pernah kau lari. Persembahkanlah ragamu untik Allah. Carilah kedudukan di sisi Allah. Jadi lah tetangga abimu dan paman pamanmu yang sholeh di jannah. Jika nantiknya kamu menjadi syahid, jangan kau kupakan ummi. Berilah ummi syafa'at. Aku pernah mendengat faedah bahwa seorang syahid akan memberi syafaat untuk 70 orabg keluarganya dan juga 70 orang tetamgganya. Ummi memelukku dengan erat dan mendongakkan kepalanya ke langit: rab ku...maula ku....inilah putraku, penyejuk jiwaku, buah hatiku..... aku persembahkan ia untukmu. Dekatkan lah ia dengan ayahnya," terangsang pemuda. Kata katanya terus mendobrak tanggul air mataku. Dan akhirnya aku benar benar tak kuasa mendengarnya. Aku tersedu sedu. Aku tak tega melihat wajahnya yang masih muda, namun begitu tinggi tekadnya. Akupun tak bisa membayabgkan kalbu sang ibu. Betapa sabarnya ia. Melihatnku menangis, sang pemuda bertanya," paman, apa gerangan tangisanmu ini? jika sebabnya adalah usiaku, bukankah ada orang yang lebih muda dariku, namun allah tetap menAzabnya jika ber maksiat.!?" "Bukan,"aku segera menyanggah. " buka lantaran usiamu. Namun aku menangis karena kalbu ibumu. Bagaimana jadinya nantik jika engkau gugur?. " akhirnya aku menerimanya sebagai bagian dari pasukan.siang malam sang pemuda tak pernah berjemu berzikir kepada Allah ta'ala. Saat pasukan bergerak, ia yang paling lincah mengendalikan kuda. Saat pasukan berhenti istirahat, ia yang paling aktig melayani pasukan. Semakin kita melangkah, tekadnya juga semakin membuncah, semangatnya semakin menjulang, kalbunya semakin lapang, dan tanda tanda kebahagiaan semakin terpancar darinya. Kami terus berjalan menyelusuri hamparan bumi yg luas. Hingga kami tiba di medan laga.bersamaan dengan bersiap2nya matahari untuk terbenam. Sesampainya, sang pemuda memaksakan diri menyiapkan hidangan berbuka untuk pasukan. Memang, hari itu kami berpuasa. Dan dikarenakan hari ini juga hikmatnya kepada pasukan selama perjalanan dia tertidur pulas. Pulas sekali hingga kami iba membangunkan. Akhirnya, kami sendiri yg menyiapkan dan membiarkan si pemuda tidur. Saat tidur, tiba2 bibirnya mengembang menghiasi wajahnya."lihatlah, ia tersenyum" kataku pada teman keheranan. Setelah bangun, aku bertanya padanya," kawan, saat tertidur kau tersenyum. Apa gerangan mimpimu?" " aku mimpi indah sekali. Membuat ku bahagia," jawabnya."ceritakanlah padaku!" Pintaku penasaran."aku seperti di taman yg hijau dan permai. Indah sekali pemandangannya menarik kalbuku untuk berjalan jalan. Saat asik berjalan, tiba2 aku berdiri di istana perak, balqonnya dari batu permata dan mutiara aerta pintu2nya dari emas. Sayang, tirai2nya terjuntai menghalangiku dari bagian dalam istana. Namun tak lama, keluarlah gadis2 menyingkap tirai2nya. Sungguh wajah mereka bagaikan rembulan kutatap wajah2 cantik itu dengan penuh ke kaguman, amboi cantiknya. " marhaban," kata salah seorang dari mereka tahu ku memangdangnya. Aku tak tahan hendak menjulurkan tangan menyentuhnya. Belum sampai tangan ini menyentuh, dia berkata," belum. Ini belum waktunya. Jangan lah terburu buru. " telinga ku juga menangkap sebuah suara dari mereka, " ini suami almardhiah. " mereka berkata kepadaku, " kemari lah yarhamukAllah." Baru saja kaki hendak melangkah, ternyata mereka telah berdiri di depanku. Mereka membawaku ke atas istana. Disebuah kamar, seluruhnya dari emas merah yg berkilauan indahnya. Dalam kamar itu ada dipan yg bertahtakan permata hijau dan kaki kakinya terbuat dari perak putih. Dia atasnya.... seorang gadia belia dengan wajah bersinar. Lebih indah dari sekedar rembulan!! Kalau lah lah allah tidak memantapkan kalbu dan pengalihatanku, niscara butalah mataku dan hilanglah akalku karena tak kuasa menatap kecantikannya!!"marhaban, algan wa sahlan, duhai wali Allah. Sungghuh engakau adalah milikku dan aku adalah milikmu" katanya menyambutku, membuatku tak terasa hendak memeluknya." Sebentar jangan lah terburu buru. Belum waktunya. Aku berjanji padamu, kita bertemu besok selepas sholat dhuhur. Bergembiralah," sang pemuda mengakhiri kisahnya. Lalu, aku berusaha membangkitkan himmahnya, "Kawan, mimpimu begitu indah. Engkau akan melihat kebaikan nantinya." Kami pun bermalam dengan perasaan takjub dan kagum akan mimpi sang pemuda.

Esok hari, kami bersiap menghadapi kaum kafir. Barisan diluruskan, formasi dan strategi dimatangkan, senjata tergenggam kuat dan tali kekang kuda dipegang erat.Semangat pun semakin berkobar saat mendengar hasungan, "wahai segenap para tentara Allah, tunggangilah kuda-kuda kalian. Bergembiralah dengan jannah. Majulah kalian, baik terasa ringan oleh kalian ataupun terasa berat."

Tak lama, skuadron pasukan kuffar tiba di hadapan kami. Banyak sekali, bagaikan belalang yang menyebar kemana-mana.Perang campuh pun terjadi. Kesunyian pagi hari sontak terpecah oleh teriakan skuadron kuffar dan gema takbir kaum muslimin. Suara senjata yang saling beradu, berbaur dengan riuh rendah suara para prajurit yang sedang bertaruh nyawa.Tiba-tiba aku mengkhawatirkan pemuda itu. Iya, dimana pemuda itu...Dimana pemuda itu ? Ku berusaha mencari di tengah medan laga. Ternyata dia di barisan depan pasukan muslimin. Dia merangsek maju, menyibak skuadron kuffar dan memporak porandakan barisan mereka.

Dia bertempur dengan hebatnya. Dia mampu melumpuhkan begitu banyak pasukan kuffar. Namun begitu, tetap saja hati ini tak tega melihatnya. Aku segera menyusulnya di depan.

Bersambung....

[Sirah] UMMI SANG MUJAHID 《BAB 1》(KISAH MENAKJUBKAN DI MASA TABI'IN)

 Hari itu, di salah satu sudutnya Masjid Nabawi berkumpullah Abu Qudamah dan para sahabatnya.
Di hati para sahabatnya, Abu Qudamah adalah orang yang sangat dikagumi. Itu karena Abu Qudamah adalah seorang mujahid. Berjihad dari satu front ke medan-medan jihad lainnya. Seolah hidup beliau, beliau persembahkan untuk berjihad.
Debu yang beterbangan, kilatan pedang, hempasan anak panah, derap kuda adalah hal yang sudah biasa bagi beliau. Pengalaman, tragedi, kisah dan momen pun telah banyak beliau saksikan di setiap gelanggang perjuangan jihad."Abu Qudamah, ceritakanlah pada kami kisah paling mengagumkan di hari-hari jihadmu," tiba-tiba salah seorang sahabatnya meminta.
"Ya," jawab Abu Qudamah.Beberapa tahun lalu. Aku singgah di kota Recca. Aku ingin membeli onta untuk membawa persenjataanku.
Saat aku sedang bersantai di penginapan, keheningan pecah oleh suara ketukan.Ku buka ternyata seorang perempuan."Engkaukah Abu Qudamah?" tanyanya."Engkaukah yang menghasung umat manusia untuk berjihad?" pertanyaannya yang kedua.
"Sungguh, Allah telah menganugerahiku rambut yang tak dimiliki wanita lain. Kini aku telah memotongnya. Aku kepang agar bisa menjadi tali kekang kuda. Aku pun telah menutupinya dengan debu agar tak terlihat.
Aku berharap sekali agar engkau membawanya. Engkau gunakan saat menggempur musuh, saat jiwa kepahlawananmu merabung. Engkau gunakan bersamaan saat kau menghunus pedang, saat kau melepaskan anak panah dan saat tombak kau genggam erat.
Kalau pun engkau tak membutuhkan, ku mohon berikanlah pada mujahid yang lain. Aku berharap agar sebagian diriku ikut di medan perang, menyatu dengan debu-debu fi sabilillah.
Aku adalah seorang janda. Suamiku dan karib kerabatku, semuanya telah mati syahid fi sabilillah. Kalau pun syariat mengizinkan aku berperang, aku akan memenuhi seruannya," ungkapnya sembari menyerahkan kepangan rambutnya.
Aku hanya diam membisu. Mulutku kelu walau tuk mengucapkan "iya"."Abu Qudamah, walaupun suamiku terbunuh, namun ia telah mendidik seorang pemuda hebat. Tak ada yang lebih hebat darinya.
Ia telah menghapal Al-Qur'an. Ia mahir berkuda dan memanah. Ia senantiasa sholat malam dan berpuasa di siang hari. Kini ia berumur 15 tahun. Ialah generasi penerus suamiku. Mungkin esok ia akan bergabung dengan pasukanmu. Tolong terimalah dia. Aku persembahkan dia untuk Allah. Ku mohon jangan halangi aku dari pahala," kata-kata sendu terus mengalir dari bibirnya.
Adapun aku masih diam membisu. Memahami kalimat per kalimat darinya. Lalu tanpa sadar perhatianku tertuju pada kepangan rambutnya."Letakkanlah dalam barang bawaanmu agar kalbuku tenang," pintanya.
Tahu aku memperhatikan kepangan rambutnya.
Aku pun segera meletakkannya bersama barang bawaanku. Seolah aku tersihir dengan kata-kata dan himmah (tekad) nya yang begitu mengharukan.Keesokan harinya, aku bersama pasukan beranjak meninggalkan Recca.Tatkala kami tiba di benteng Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seorang penunggang kuda yang memanggil-manggil.
"Abu Qudamah!" serunya.
"Abu Qudamah, tunggu sebentar, semoga Allah merahmatimu."
Kaki pun terhenti. Lalu aku berpesan kepada pasukan, "tetaplah di tempat hingga aku mengetahui orang ini."
Dia mendekat dan memelukku."Alhamdulillah, Allah memberiku kesempatan menjadi pasukanmu. Sungguh Dia tidak ingin aku gagal," ucapnya.
"Kawan, singkaplah kain penutup kepalamu dahulu," pintaku.
Ia pun menyingkapnya. Ternyata wajahnya bak bulan purnama. Terpancar darinya cahaya ketaatan."Kawan, apakah engkau memiliki Abi?" tanyaku.
"Justru aku keluar bersamamu hendak menuntut balas kematian Abi. Dia telah mati syahid. Semoga saja Allah menganugerahiku syahid seperti Abi," jawabnya.
"Lalu, bagaimana dengan Ummi? 

Bersambung....!

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review