Lokasi Penulis

Bukittinggi-Sumbar-Indonesia
Pin BB :
HP :

Saturday, June 20, 2015

[Sirah] UMMI SANG MUJAHID 《BAB 1》(KISAH MENAKJUBKAN DI MASA TABI'IN)

 Hari itu, di salah satu sudutnya Masjid Nabawi berkumpullah Abu Qudamah dan para sahabatnya.
Di hati para sahabatnya, Abu Qudamah adalah orang yang sangat dikagumi. Itu karena Abu Qudamah adalah seorang mujahid. Berjihad dari satu front ke medan-medan jihad lainnya. Seolah hidup beliau, beliau persembahkan untuk berjihad.
Debu yang beterbangan, kilatan pedang, hempasan anak panah, derap kuda adalah hal yang sudah biasa bagi beliau. Pengalaman, tragedi, kisah dan momen pun telah banyak beliau saksikan di setiap gelanggang perjuangan jihad."Abu Qudamah, ceritakanlah pada kami kisah paling mengagumkan di hari-hari jihadmu," tiba-tiba salah seorang sahabatnya meminta.
"Ya," jawab Abu Qudamah.Beberapa tahun lalu. Aku singgah di kota Recca. Aku ingin membeli onta untuk membawa persenjataanku.
Saat aku sedang bersantai di penginapan, keheningan pecah oleh suara ketukan.Ku buka ternyata seorang perempuan."Engkaukah Abu Qudamah?" tanyanya."Engkaukah yang menghasung umat manusia untuk berjihad?" pertanyaannya yang kedua.
"Sungguh, Allah telah menganugerahiku rambut yang tak dimiliki wanita lain. Kini aku telah memotongnya. Aku kepang agar bisa menjadi tali kekang kuda. Aku pun telah menutupinya dengan debu agar tak terlihat.
Aku berharap sekali agar engkau membawanya. Engkau gunakan saat menggempur musuh, saat jiwa kepahlawananmu merabung. Engkau gunakan bersamaan saat kau menghunus pedang, saat kau melepaskan anak panah dan saat tombak kau genggam erat.
Kalau pun engkau tak membutuhkan, ku mohon berikanlah pada mujahid yang lain. Aku berharap agar sebagian diriku ikut di medan perang, menyatu dengan debu-debu fi sabilillah.
Aku adalah seorang janda. Suamiku dan karib kerabatku, semuanya telah mati syahid fi sabilillah. Kalau pun syariat mengizinkan aku berperang, aku akan memenuhi seruannya," ungkapnya sembari menyerahkan kepangan rambutnya.
Aku hanya diam membisu. Mulutku kelu walau tuk mengucapkan "iya"."Abu Qudamah, walaupun suamiku terbunuh, namun ia telah mendidik seorang pemuda hebat. Tak ada yang lebih hebat darinya.
Ia telah menghapal Al-Qur'an. Ia mahir berkuda dan memanah. Ia senantiasa sholat malam dan berpuasa di siang hari. Kini ia berumur 15 tahun. Ialah generasi penerus suamiku. Mungkin esok ia akan bergabung dengan pasukanmu. Tolong terimalah dia. Aku persembahkan dia untuk Allah. Ku mohon jangan halangi aku dari pahala," kata-kata sendu terus mengalir dari bibirnya.
Adapun aku masih diam membisu. Memahami kalimat per kalimat darinya. Lalu tanpa sadar perhatianku tertuju pada kepangan rambutnya."Letakkanlah dalam barang bawaanmu agar kalbuku tenang," pintanya.
Tahu aku memperhatikan kepangan rambutnya.
Aku pun segera meletakkannya bersama barang bawaanku. Seolah aku tersihir dengan kata-kata dan himmah (tekad) nya yang begitu mengharukan.Keesokan harinya, aku bersama pasukan beranjak meninggalkan Recca.Tatkala kami tiba di benteng Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seorang penunggang kuda yang memanggil-manggil.
"Abu Qudamah!" serunya.
"Abu Qudamah, tunggu sebentar, semoga Allah merahmatimu."
Kaki pun terhenti. Lalu aku berpesan kepada pasukan, "tetaplah di tempat hingga aku mengetahui orang ini."
Dia mendekat dan memelukku."Alhamdulillah, Allah memberiku kesempatan menjadi pasukanmu. Sungguh Dia tidak ingin aku gagal," ucapnya.
"Kawan, singkaplah kain penutup kepalamu dahulu," pintaku.
Ia pun menyingkapnya. Ternyata wajahnya bak bulan purnama. Terpancar darinya cahaya ketaatan."Kawan, apakah engkau memiliki Abi?" tanyaku.
"Justru aku keluar bersamamu hendak menuntut balas kematian Abi. Dia telah mati syahid. Semoga saja Allah menganugerahiku syahid seperti Abi," jawabnya.
"Lalu, bagaimana dengan Ummi? 

Bersambung....!

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review